"When you die, you just die. But if you write something, when you die, you'll live forever" D.N.W

Kamis, 04 Februari 2016

Mencintaimu dalam Diamku

Aku menatap gadis dalam balutan gaun putih itu. Ia sedang mematut diri di depan cermin sambil tersenyum manis. Hari ini adalah hari bahagianya. Tentu saja ia tak ‘kan berhenti tersenyum sepanjang hari. Ah, kenyataan ini membuat hatiku perih lagi. Harusnya aku turut bahagia akan kebahagiaannya, namun aku juga tidak dapat membohongi perasaanku sendiri. Putri Ayu Cendrani, sahabatku sejak kecil yang juga menjadi cinta pertamaku akan menikah pada hari ini.
“Adit! Kamu sudah datang?” pekiknya ketika melihatku, langsung saja ia menghambur dalam pelukanku.
“Sudah dari tadi, Put.” jawabku sambil tersenyum. “Hei, hei, kamu sudah mau jadi istri orang masa masih meluk-meluk cowo lain begini? Apa kata keluarga calon suamimu kalau mereka melihat ini?” aku mendorong pelan tubuh Putri menjauh dariku. Aku merasa tidak enak hati memeluknya terlalu lama.
“Ahhh.. kamu kaya lagi sama orang lain saja, Dit. Dari dulu kamu itu sudah aku anggap kaya abang aku sendiri lho, masa iya aku salah meluk abangku di hari bahagia ini?”
Aku menghela nafas. Ini juga salah satu kenyataan yang tidak ku sukai. Putri hanya menganggapku sebagai ‘abangnya’, tidak lebih. Sedangkan aku di sini berharap, setidaknya sekali saja, Putri dapat melihatku sebagai pria, pria yang mungkin pantas membahagiakannya.
“Ah tidak seharusnya aku seegois ini, ia sudah menetapkan pilihannya, dan aku harus menerimanya”, batinku.
“Iya.. iya, aku tahu itu. Sana, lanjutkan siap-siap. Lihatlah wajahmu masih pucat tanpa make-up, apa kamu mau menemui pangeranmu dengan wajah pucat itu?” ledekku sambil mengacak-acak rambutnya yang masih terurai.
“Adiiitt… awas ya kamu ledekin aku terus.” ujar Putri sambil menggelitiku, namun ia menurut juga. Ia kembali duduk manis di depan cermin sambil membiarkan penata riasnya mulai membubuhkan bedak di wajahnya.
Akhirnya aku meninggalkan Putri di ruangan tersebut, aku tidak yakin dapat berlama-lama menyembunyikan kesedihanku bila terus berada di dekatnya saat ini. Aku memilih berkeliling di sekitar ruangan tempat Putri akan melangsungkan pernikahannya sembari menunggu acara dimulai. Ruangan ini didominasi warna pink, persis dengan warna kesukaan Putri. Aku yakin Putri yang memilih warna tersebut. Tanpa sadar aku tersenyum, melihat warna kesukaan Putri dimana-mana, aku jadi teringat kejadian beberapa tahun yang lalu. Tepatnya di hari Valentine ketika kami masih berusia 15. Kami sama-sama belum punya pacar saat itu. Putri mengusulkan agar kami merayakannya berdua saja.
“Toh valentine tidak harus dengan pacar ‘kan?” ucapnya padaku saat itu.
Aku hanya diam.
“Aku kesal! Semua teman-temanku pamer akan jalan dengan pacar mereka di hari valentine nanti.” sungutnya.
Lagi-lagi aku tak menjawab, aku hanya diam dan membiarkannya menumpahkan kekesalannya.
“Yaudah, aku juga bilang kalau aku akan menghabiskan valentine ini dengan orang yang spesial. Lihat saja, mereka pasti cemburu ketika tahu dengan siapa aku melewati valentine tahun ini. Aditya Bambang Prakoso, ketua OSIS yang jago basket dan diidolakan oleh banyak perempuan di sekolah.” kali ini nadanya tidak lagi kesal. Ia mengucapkannya dengan nada bangga sambil menatapku. Bahkan sekarang aku bisa melihat senyum tergantung di dua sudut bibirnya. Dan harus ku akui, saat itu ada terselip bangga di hatiku ketika sedikit banyak aku menjadi alasan penghapus kekesalannya. Aku tidak yakin betul apa yang ku rasa saat itu, aku bahagia melihatnya bahagia, aku ikut tersenyum ketika melihatnya tersenyum, dia seperti magnet yang berhasil menarik perhatianku, dan aku tidak bisa mengalihkan pandanganku darinya. Itulah kali pertama aku mulai sadar, aku telah jatuh cinta pada sahabat kecilku ini.
Putri memintaku untuk menggunakan baju couple berwarna pink di hari Valentine tersebut. Awalnya aku menolak, bagaimana mungkin aku memakai baju berwarna pink dengan corak yang, umm.. sedikit lucu itu, sambil jalan-jalan di mall bersamanya? Arrgh tidak ! Tapi, ya… Putri selalu jago meluluhkan hatiku. Setelah merayuku dengan segala cara, akhirnya aku bersedia menggunakan baju tersebut sambil menemaninya jalan-jalan di mall menghabiskan hari Valentine bersama.
Sebenarnya aku hampir tidak sanggup menahan malu ketika beberapa orang yang berjalan melewati kami selalu melemparkan senyum melihat penampilanku. “Apa aku seaneh itu?” gumamku. Tapi daripada sibuk dengan pemikiran mengenai penilaian orang tentangku, aku malah mengalihkannya dengan memfokuskan perhatianku pada Putri. Ia begitu manis dalam balutan kaos pink tersebut, sangat pas dengan postur tubuhnya. Sepanjang perjalanan ia selalu tersenyum sambil berceloteh riang kepadaku. Putri memang terkenal sangat ceria. Mungkin karena itulah orang-orang sangat betah berlama-lama di dekatnya. Hari itu kami menghabiskan waktu dengan bahagia. Itu valentine terbaik yang pernah ku lewati dan valentine terakhirku dengan Putri. Karena di tahun-tahun berikutnya, dia sudah menemukan pria yang selalu mengajaknya keluar disetiap hari Valentine.
“Hei, nak Adit.” seseorang menepuk pundakku dan membawaku kembali ke alam sadar dari lamunan masa lalu tersebut.
“Eh.. iya, eh.. tante, yaampun aku kira siapa.” jawabku setelah mengenali siapa yang tadi menepuk pundakku. Ternyata Tante Rina, mama Putri.
“Hehe.. maaf mengagetkanmu. Tante lihat kamu daritadi disini sendirian dan melamun, ya tante samperin. Kamu lagi ngelamunin apa sih?” tanya Tante Rina.
“Eh engga kok tan, hehe.. bukan apa-apa.” jawabku sekenanya “Ngomong-ngomong, tante ga nemenin Putri siap-siap? Dia uda selesai dandan?” aku berusaha mengganti topik pembicaraan.
“Sudah kok, tante baru saja dari sana. Makanya tante sudah bisa ninggalin Putri sebentar. Tante mau keliling-keliling buat ngecek apa ada kekurangan atau tidak di sini. Syukurnya di sini juga sudah beres, sudah rapi, tinggal menunggu acaranya dimulai saja.” ujar Tante Rina.
“Oh gitu. Iya tan, Adit juga dari tadi disini merhatiin ruangan ini. Apik tenan, Putri pasti bahagia banget dengan konsep pernikahannya ini. Sederhana, tapi indah.”
“Iya nak Adit, tante sengaja minta ke EO-nya untuk mempersiapkan konsep pernikahan yang seperti ini, tentunya kesepakatan dengan pihak mempelai pria juga. Tante mau ngasi yang terbaik buat Putri di hari bahagianya. Tante masih ga percaya, putri kecil tante yang dulu manja banget sekarang uda mau membangun bahtera rumah tangga sendiri.” mata Tante Rina berkaca-kaca ketika menyelesaikan kalimat terakhirnya.
Aku pun ikut tersentuh, mengingat perjuangan Tante Rina membesarkan Putri, wajar saja Tante terharu bercampur bahagia seperti sekarang. Tante Rina sudah menjadi single parent sejak Putri berusia 10 tahun. Om Candra, Papa Putri, meninggal karena suatu penyakit, dan sejak saat itu Tante Rina membesarkan Putri sendirian. Ia tidak mau menikah lagi, ia hanya mencurahkan semua waktu dan tenaganya untuk membesarkan Putri.
“Iya tan, waktu rasanya berlalu dengan cepat ya. Putri sekarang sudah tumbuh jadi gadis yang dewasa … dan cantik.” ujarku sambil mengulum senyum.
“Terima kasih ya nak Adit karena selama ini sudah jagain Putri terus. Selalu ada disaat dia butuh, selalu mau nemenin dia kemana-mana, selalu luangin waktu untuk dia, bahkan ketika tante ga bisa melakukannya. Tante benar-benar bersyukur karena Tuhan taruh kamu dalam kehidupan Putri.” tante Rina melemparkan senyum tulus ke arah Adit.
“Iya tante, ga apa-apa. Adit senang kok ngelakuinnya.” balasku sambil ikut tersenyum.
“Kamu tau ga nak Adit, dulu tante pernah membayangkan kalau kamu lho yang jadi sama Putri. Hehe. Rupanya tante salah, kamu sama Putri kan uda kaya kakak-adik, ga mungkin bisa jadi suami-istri. Hehe.” lagi-lagi kalimat itu menohok hati Adit, aku tak menjawab, hanya tersenyum membalas pernyataan Tante Rina.
“Nak Adit, tante kembali ke tempat Putri dulu ya. Kayanya acaranya uda mau dimulai nih.”
“Baik, tante.”
Selepas kepergian Tante Rina, aku memilih duduk di salah satu kursi tamu yang sudah disediakan, menunggu acara dimulai. Sambil duduk, pikiranku mulai kemana-mana. Putri, si cinta pertamaku yang juga masih ku cintai sampai sekarang, akan menikah hari ini. Hanya menunggu menit, dia akan berada di pelaminan sana bersama lelaki pilihannya. Aku tak bisa menahan perasaanku ketika ku sadari ada setetes bulir air mata yang mengalir pelan membasahi pipiku. Ah, mengapa aku tiba-tiba jadi lemah begini? Aku menghapus air mataku sambil menertawai diri sendiri. “Ga seharusnya cowok nangis”, gumamku.
Putri … mungkin memang aku yang selama ini terlalu pengecut untuk mengungkapkan segalanya. Aku hanya takut adanya perasaan cinta ini justru akan membuat persahabatan kita merenggang. Aku ingat betul ketika dulu kamu pernah menceritakan tentang kisah salah satu teman sekolahmu yang persahabatannya rusak karena sahabatnya menaruh hati padanya, sedangkan temanmu itu tidak. Aku ingat betul dulu kamu mengatakan agar hal tersebut jangan sampai terjadi di persahabatan kita, dan aku mengiyakannya. Sampai sekarang aku masih memegang janjiku, mempertahankan persahabatan ini dan mengabaikan perasaanku sendiri. Namun hari ini aku mulai berandai-andai, seandainya aku memiliki sedikit saja keberanian untuk mengungkapkan perasaanku, apakah kamu akan menerimanya? Seandainya aku memberitahumu tentang apa yang ku rasa setiap melihatmu, apakah kamu akan memberiku kesempatan? Seandainya aku mengutarakan perasaanku lebih awal, apakah mungkin aku yang akan bersanding bersamamu di pelaminan itu dan bukan dia?
Aku memegang dadaku, ah mengapa sakit sekali rasanya. Aku benar-benar merasa sendiri saat ini, semua orang berbahagia, namun aku tidak. Ku layangkan pandanganku ke depan, aku baru sadar bahwa acara sudah dimulai dan saat ini pembawa acara sedang memanggil kedua mempelai ke depan altar.
Aku memandanginya lagi dari jauh. Dia sungguh menawan hari ini, dalam balutan gaun putih dengan senyum yang tak pernah pudar di bibirnya, wajahnya yang semakin cantik dalam polesan make-up, rambutnya yang ditata rapi, serta matanya yang berbinar-binar. Menatapnya seperti ini membuat ku menyadari bahwa dia sudah sangat jauh dariku, rasanya tak lagi bisa ku capai, tak akan mungkin lagi bisa ku miliki.
Mereka berdiri di depan altar, aku memperhatikan mempelai pria mengucapkan janji pernikahan di hadapan semua orang yang ada di ruangan, dan kemudian Putri melakukan hal yang sama.
“Bersediakah kamu, Putri Ayu Cendrani menjadi istri dari …” serentetan kalimat diucapkan oleh Pendeta yang memimpin acara pernikahan tersebut. Hingga akhirnya aku mendengar dengan sangat jelas dan mantap Putri menjawab,
“Ya, aku bersedia.”
Tepuk tangan dan sorak-sorai memenuhi ruangan, air mata haru tampak menghiasi pipi banyak orang dalam ruangan. Aku pun tak terkecuali, kali ini aku tak bisa membendung air mataku, sekarang ia telah sah menjadi istri dari pria lain.
Aku berdiri dan beranjak meninggalkan ruangan, rasanya tak sanggup bila aku harus berlama-lama di sini. Namun sebelum benar-benar pergi, ku balikkan kembali badanku dan menatapnya dari kejauhan,

“Selamat menempuh hidup baru cinta pertamaku, berbahagialah” ucapku dalam hati.

#Fiksi

0 komentar:

Posting Komentar

Gambar tema oleh Nic_Taylor. Diberdayakan oleh Blogger.

© 2011 Coretan Ayu :), AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena