"When you die, you just die. But if you write something, when you die, you'll live forever" D.N.W

Rabu, 23 November 2016

RIBET!

Apa yang ku tulis tak sebanyak apa yang ada dipikiranku sekarang.
Yang jelas aku sedang menghitung masa laluku dan berusaha memprediksi masa depan. Jujur aku berujar, bahwa aku rindu sebagian orang di masa laluku. Namun tak sedikit dari mereka yang ku harap tidak akan jadi masa depanku.

November, 2016
Tidak terasa sebulan lagi tahun ini akan berakhir, rasanya waktu berlari seribu kali lebih cepat dari langkahku. Tak terasa sudah hampir di penghujung tahun saja, ah seandainya aku punya kekuatan super untuk memperlambat waktu, akan ku buat jera si waktu ini, akan ku ikat kakinya agar tidak dengan mudah ia berlari. Tentu itu semua hanya pengandaian.

Nyatanya waktu tetap mengalir deras tanpa pernah sempat ku tahan, aku sadar harusnya aku yang menyesuaikan lariku dengan si waktu bukannya dia yang ku harap dapat mengerti aku, mustahil terjadi.

Teringat penghujung tahun, teringat tentang si anak muda itu. Wkwkwk
Padahal aku sudah berjanji untuk tidak menuliskan dia lagi di tulisan manapun juga di blog ini, namun tidak bisa, aku tetap rindu menyebutnya di sini. Tahun ini tidak berjalan baik untuk kami. Namun semua masih dalam kendali, aku masih bisa menjalankan hidupku dengan baik, demikian pula dia. Kalau kamu tanya bagaimana aku padanya hari ini, akan ku jawab bahwa aku sudah tak terlalu rindu lagi. Namun entah besok masih sama atau tidak, kita lihat saja besok.

Bulan ini aku sedang disibukkan dengan PKL yang rasanya tak ada ujungnya, wkwkwk lelahhh tapi cukup seru untuk menambah pengetahuanku. Lalu, aku juga sedang berjuang melawan malas yang menempel erat seolah ia sangat mencintaiku dan tak bisa meninggalkanmu. Haduhh, aku benar-benar tidak ingin dicintai oleh makhluk bernama malas. Aku ingin dicintai oleh dia saja, diaaa!!! (dia yang masih dirahasiakan Tuhan xD)
Oke back to topic, jadi hari-hari ini aku berjuang melepaskan malasku untuk mulai mengerjakan skripsi, ya aku harus benar-benar mengerjakannya bila tidak ingin jadi mahasiswa abadi di kampusku.
Baiklah, siapa pun kamu yang membaca ini, aku minta dukungan doanya yaaa.. doakan aku bisa mengerjakan skripsiku dengan baik dan segera bisa jadi sarjana, lalu jadi berguna di masyarakat. Yah anggaplah misi utamaku memang menjadi berguna di masyarakat, selain mengumpulkan uang yang banyak tentu saja hehehe eh tapi tidak dengan korupsi ya, melainkan dengan kerja keras. (kenapa kaya lagi kampanye sih? Hahaha)

Hm.. tahun depan sudah tahun 2017 saja, sebentar lagi usiaku 22 tahun. Hahha aku akhirnya bisa menertawai mimpiku dulu untuk menikah di usia 23 tahun, hellow? Nikah dengan siapa? Sampai sekarang aku tak punya gambaran sama sekali siapa yang kelak akan menjadi teman hidupku, so let’s say goodbye untuk khayalan nikah muda, BIG NO. wkwkwk

Ah. Siapapun teman hidupku kelak, bila kamu membaca tulisan ini, ketahuilah bahwa aku mencintaimu bahkan sebelum aku bertemu denganmu. Kamu bertanya bagaimana bisa? Ya itulah kekuatan iman :D

Okee sepertinya tulisan ini mulai ngalor ngidul ga jelas. Maklumilah, seperti yang sudah ku katakan di atas ada banyak hal yang ada di otakku namun tak sebanyak yang bisa ku tuangkan dalam tulisan, jadi ya anggap saja keribetan tulisan ini sebagai efeknya. Dan ketimbang makin ga jelas, lebih baik ku akhiri saja semua ini dengan indah.

Sampai jumpa di tulisan-tulisan selanjutnya, readers!
Read More

Senin, 18 April 2016

Easy Come & Easy Go

Aku bukanlah orang yang selalu lihai dalam memilih kata untuk menceritakan semua isi kepalaku. Seperti saat ini, aku sedang bingung harus memulai menulis darimana. Jadi maafkan aku bila tulisan ini terkesan melompat-lompat. Nikmati saja :)

“Hai.”

Satu kata sederhana itu muncul di layar hpku saat aku membuka LINE malam itu, ternyata pengirimnya adalah kamu. Tentu saja aku kaget, sekitar 5 detik, kemudian jemariku mengetikkan balasan.

“Hai juga.”

Setelahnya tanpa aba-aba, percakapan mengalir deras. Seolah kata “hai” yang kamu kirim sebelumnya punya mantra, yang berhasil buatku tersihir untuk terus menatap layar handphoneku menunggu percakapan-percakapan berikutnya.

Kalau diingat-ingat kembali, lucu juga ya.. bagaimana kita yang tak saling kenal sebelumnya bisa berubah akrab hanya karena sapaan sederhana di jejaring sosial. Tiba-tiba saja aku merasa kamu menjadi bagian dari kehidupan sehari-hariku, sapaanmu, ceritamu, candaanmu, perhatianmu, entah bagaimana menjadi hal yang ku nanti tiap harinya. Hahaha.

Ah namun tetap saja, menurutku komunikasi terbaik di muka bumi ini adalah komunikasi tatap-muka, bukan sekedar komunikasi yang mengandalkan ketikan-ketikan dari jemari di keyboard hp, itu pun pakai LINE pula -__-

Jadi, itu yang membuatku mulai ragu. Tiga bulan percakapan mengalir tanpa jeda, namun tak sekalipun kita pernah bertemu tatap. Entahlah, akukah yang terlalu berharap? Menurutku, tiga bulan adalah waktu yang cukup panjang untuk bisa mengatur waktu bertemu. Namun tak juga ada pergerakan. Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, “Sampai kapan terus begini?”

Yah pada akhirnya, tak tunggu waktu lama. Terhitung dari hari pertama bulan ini, kita tak lagi bertegur sapa. Ternyata bosan yang ku rasa, terasa pula olehmu. Jujur saja.. aku juga bosan dengan percakapan yang itu-itu saja, aku mulai bingung mencari bahan bahasan apa lagi di tiap malam, dan aku sudah tak seantusias dulu lagi menatap layar handphone demi menunggu kabar darimu. Namun, setidaknya aku tidak (atau belum?) menyerah. Kamu yang menyerah duluan tanpa aba-aba. Seriously, bagaimana bisa kamu tiba-tiba menghilang tanpa pamit?

Aku masih tak habis pikir sih, gampang banget ya. Memberi harapan, buat melambung jauh terbang tinggi, terus dilepas gitu aja. Rasanya seperti mendarat tanpa aturan kecepatan, hatiku menghantam tanah dengan telaknya. Setiap malam menanti kabarmu, namun tak kunjung ada. Berkali-kali ku cek ulang percakapan terakhir kita, mencoba mengoreksi adakah perkataanku yang salah sebelumnya sehingga membuatmu pantas begitu, ternyata tidak. Kepergianmu menyisakan tanda tanya.

Ku ceritakan deh bagaimana aku ketika hari-hari awal kamu tak mengabariku apa-apa. Aku mulai sibuk membuka setiap jejaring sosialmu, memastikan paket internetmu masih ada atau tidak. Ya setidaknya kalau aku melihat tak ada aktivitas apapun di jejaring sosialmu, aku bisa menghibur hatiku dengan pikiran positif, ternyata paketmu habis. Taunya? Tidak juga tuh, kamu tetap berbagi momenmu di salah satu jejaring sosial yang ada. Namun sanggup tidak membalas chat dariku. Wkwkwk sedih! Tiba-tiba aku mulai menebak-nebak, kenapa ya? Apa aku sebegitu membosankannya? Apa aku tidak lagi menarik? Apa aku tiba-tiba jelek di matamu? Huaa, you made me frustrated!

Namun, itu hanya cerita di hari-hari awal. Selanjutnya, marahku berubah cemas. Bukan lagi soal aku ingin dicari olehmu, bukan lagi soal aku ingin segera dihubungi olehmu, bukan lagi soal betapa menyebalkannya hal yang kamu lakukan padaku. Justru sekarang ini  tentang kamu, aku mulai berpikir adakah kamu disana baik-baik saja sekalipun tak memberiku kabar? Adakah kamu sedang menghadapi masa-masa sulit sehingga tak sengaja mengabaikanku? Adakah kamu sedang sehat atau sakit? Aku mengkhawatirkanmu. Dan rasa ingin tauku akan keadaanmu sungguh menyiksa.

Lebay ya? Dulu ga kenal, lalu dekat juga karena chattingan, eh pas kamu ngilang aku sekhawatir ini? Hmm gataulah. Yang jelas, aku ga biasanya kaya gini ke orang lain, hanya ke orang-orang tertentu. Kamu salah satunya.

Selanjutnya setelah menghilang begitu saja, beberapa hari lalu aku mendengar kabarmu lagi, kamu muncul di timeline media sosialku. Ah betapa leganya aku mengetahui kamu baik-baik saja. Terima kasih! Terima kasih karena kamu tidak kenapa-kenapa. Terima kasih karena sudah terus bahagia dan tetap sehat. Terima kasih karena ternyata kamu baik-baik saja.

Dan entah bagaimana, kemunculanmu kembali membuat aku sadar bahwa percakapan-percakapan kita memang  sudah benar-benar berakhir. Dengan tulisanku ini, ku deklarasikan bahwa sekarang aku sudah ikhlas melepas apa yang memang tak pernah ku miliki, melepaskan kamu bersama dengan perasaan nyaman yang pernah ada. Ini kali pertama aku menceritakanmu di blog ini, dan kemungkinan akan menjadi kali terakhir.

Kelak bila kedua matamu menemukan tulisan ini, kamu harus tau bahwa aku ingin menyampaikan dua hal padamu, pertama maaf dan kedua terima kasih. Maaf bila sikapku pernah melukaimu, contohnya pengabaian berkepanjangan atas hadirmu yang selama ini ku lakukan. Dan terima kasih buat setiap perhatian yang terselip dalam percakapan kita yang hampir tiap malam. Sungguh, kamu salah satu alasan aku menyadari betapa di dunia ini masih ada orang-orang yang menyayangiku.

Well, ku akhiri tulisanku ini dengan memanjatkan doa semoga ini tak terbacamu dalam waktu dekat. Hahaha.
Read More

Kamis, 04 Februari 2016

Mencintaimu dalam Diamku

Aku menatap gadis dalam balutan gaun putih itu. Ia sedang mematut diri di depan cermin sambil tersenyum manis. Hari ini adalah hari bahagianya. Tentu saja ia tak ‘kan berhenti tersenyum sepanjang hari. Ah, kenyataan ini membuat hatiku perih lagi. Harusnya aku turut bahagia akan kebahagiaannya, namun aku juga tidak dapat membohongi perasaanku sendiri. Putri Ayu Cendrani, sahabatku sejak kecil yang juga menjadi cinta pertamaku akan menikah pada hari ini.
“Adit! Kamu sudah datang?” pekiknya ketika melihatku, langsung saja ia menghambur dalam pelukanku.
“Sudah dari tadi, Put.” jawabku sambil tersenyum. “Hei, hei, kamu sudah mau jadi istri orang masa masih meluk-meluk cowo lain begini? Apa kata keluarga calon suamimu kalau mereka melihat ini?” aku mendorong pelan tubuh Putri menjauh dariku. Aku merasa tidak enak hati memeluknya terlalu lama.
“Ahhh.. kamu kaya lagi sama orang lain saja, Dit. Dari dulu kamu itu sudah aku anggap kaya abang aku sendiri lho, masa iya aku salah meluk abangku di hari bahagia ini?”
Aku menghela nafas. Ini juga salah satu kenyataan yang tidak ku sukai. Putri hanya menganggapku sebagai ‘abangnya’, tidak lebih. Sedangkan aku di sini berharap, setidaknya sekali saja, Putri dapat melihatku sebagai pria, pria yang mungkin pantas membahagiakannya.
“Ah tidak seharusnya aku seegois ini, ia sudah menetapkan pilihannya, dan aku harus menerimanya”, batinku.
“Iya.. iya, aku tahu itu. Sana, lanjutkan siap-siap. Lihatlah wajahmu masih pucat tanpa make-up, apa kamu mau menemui pangeranmu dengan wajah pucat itu?” ledekku sambil mengacak-acak rambutnya yang masih terurai.
“Adiiitt… awas ya kamu ledekin aku terus.” ujar Putri sambil menggelitiku, namun ia menurut juga. Ia kembali duduk manis di depan cermin sambil membiarkan penata riasnya mulai membubuhkan bedak di wajahnya.
Akhirnya aku meninggalkan Putri di ruangan tersebut, aku tidak yakin dapat berlama-lama menyembunyikan kesedihanku bila terus berada di dekatnya saat ini. Aku memilih berkeliling di sekitar ruangan tempat Putri akan melangsungkan pernikahannya sembari menunggu acara dimulai. Ruangan ini didominasi warna pink, persis dengan warna kesukaan Putri. Aku yakin Putri yang memilih warna tersebut. Tanpa sadar aku tersenyum, melihat warna kesukaan Putri dimana-mana, aku jadi teringat kejadian beberapa tahun yang lalu. Tepatnya di hari Valentine ketika kami masih berusia 15. Kami sama-sama belum punya pacar saat itu. Putri mengusulkan agar kami merayakannya berdua saja.
“Toh valentine tidak harus dengan pacar ‘kan?” ucapnya padaku saat itu.
Aku hanya diam.
“Aku kesal! Semua teman-temanku pamer akan jalan dengan pacar mereka di hari valentine nanti.” sungutnya.
Lagi-lagi aku tak menjawab, aku hanya diam dan membiarkannya menumpahkan kekesalannya.
“Yaudah, aku juga bilang kalau aku akan menghabiskan valentine ini dengan orang yang spesial. Lihat saja, mereka pasti cemburu ketika tahu dengan siapa aku melewati valentine tahun ini. Aditya Bambang Prakoso, ketua OSIS yang jago basket dan diidolakan oleh banyak perempuan di sekolah.” kali ini nadanya tidak lagi kesal. Ia mengucapkannya dengan nada bangga sambil menatapku. Bahkan sekarang aku bisa melihat senyum tergantung di dua sudut bibirnya. Dan harus ku akui, saat itu ada terselip bangga di hatiku ketika sedikit banyak aku menjadi alasan penghapus kekesalannya. Aku tidak yakin betul apa yang ku rasa saat itu, aku bahagia melihatnya bahagia, aku ikut tersenyum ketika melihatnya tersenyum, dia seperti magnet yang berhasil menarik perhatianku, dan aku tidak bisa mengalihkan pandanganku darinya. Itulah kali pertama aku mulai sadar, aku telah jatuh cinta pada sahabat kecilku ini.
Putri memintaku untuk menggunakan baju couple berwarna pink di hari Valentine tersebut. Awalnya aku menolak, bagaimana mungkin aku memakai baju berwarna pink dengan corak yang, umm.. sedikit lucu itu, sambil jalan-jalan di mall bersamanya? Arrgh tidak ! Tapi, ya… Putri selalu jago meluluhkan hatiku. Setelah merayuku dengan segala cara, akhirnya aku bersedia menggunakan baju tersebut sambil menemaninya jalan-jalan di mall menghabiskan hari Valentine bersama.
Sebenarnya aku hampir tidak sanggup menahan malu ketika beberapa orang yang berjalan melewati kami selalu melemparkan senyum melihat penampilanku. “Apa aku seaneh itu?” gumamku. Tapi daripada sibuk dengan pemikiran mengenai penilaian orang tentangku, aku malah mengalihkannya dengan memfokuskan perhatianku pada Putri. Ia begitu manis dalam balutan kaos pink tersebut, sangat pas dengan postur tubuhnya. Sepanjang perjalanan ia selalu tersenyum sambil berceloteh riang kepadaku. Putri memang terkenal sangat ceria. Mungkin karena itulah orang-orang sangat betah berlama-lama di dekatnya. Hari itu kami menghabiskan waktu dengan bahagia. Itu valentine terbaik yang pernah ku lewati dan valentine terakhirku dengan Putri. Karena di tahun-tahun berikutnya, dia sudah menemukan pria yang selalu mengajaknya keluar disetiap hari Valentine.
“Hei, nak Adit.” seseorang menepuk pundakku dan membawaku kembali ke alam sadar dari lamunan masa lalu tersebut.
“Eh.. iya, eh.. tante, yaampun aku kira siapa.” jawabku setelah mengenali siapa yang tadi menepuk pundakku. Ternyata Tante Rina, mama Putri.
“Hehe.. maaf mengagetkanmu. Tante lihat kamu daritadi disini sendirian dan melamun, ya tante samperin. Kamu lagi ngelamunin apa sih?” tanya Tante Rina.
“Eh engga kok tan, hehe.. bukan apa-apa.” jawabku sekenanya “Ngomong-ngomong, tante ga nemenin Putri siap-siap? Dia uda selesai dandan?” aku berusaha mengganti topik pembicaraan.
“Sudah kok, tante baru saja dari sana. Makanya tante sudah bisa ninggalin Putri sebentar. Tante mau keliling-keliling buat ngecek apa ada kekurangan atau tidak di sini. Syukurnya di sini juga sudah beres, sudah rapi, tinggal menunggu acaranya dimulai saja.” ujar Tante Rina.
“Oh gitu. Iya tan, Adit juga dari tadi disini merhatiin ruangan ini. Apik tenan, Putri pasti bahagia banget dengan konsep pernikahannya ini. Sederhana, tapi indah.”
“Iya nak Adit, tante sengaja minta ke EO-nya untuk mempersiapkan konsep pernikahan yang seperti ini, tentunya kesepakatan dengan pihak mempelai pria juga. Tante mau ngasi yang terbaik buat Putri di hari bahagianya. Tante masih ga percaya, putri kecil tante yang dulu manja banget sekarang uda mau membangun bahtera rumah tangga sendiri.” mata Tante Rina berkaca-kaca ketika menyelesaikan kalimat terakhirnya.
Aku pun ikut tersentuh, mengingat perjuangan Tante Rina membesarkan Putri, wajar saja Tante terharu bercampur bahagia seperti sekarang. Tante Rina sudah menjadi single parent sejak Putri berusia 10 tahun. Om Candra, Papa Putri, meninggal karena suatu penyakit, dan sejak saat itu Tante Rina membesarkan Putri sendirian. Ia tidak mau menikah lagi, ia hanya mencurahkan semua waktu dan tenaganya untuk membesarkan Putri.
“Iya tan, waktu rasanya berlalu dengan cepat ya. Putri sekarang sudah tumbuh jadi gadis yang dewasa … dan cantik.” ujarku sambil mengulum senyum.
“Terima kasih ya nak Adit karena selama ini sudah jagain Putri terus. Selalu ada disaat dia butuh, selalu mau nemenin dia kemana-mana, selalu luangin waktu untuk dia, bahkan ketika tante ga bisa melakukannya. Tante benar-benar bersyukur karena Tuhan taruh kamu dalam kehidupan Putri.” tante Rina melemparkan senyum tulus ke arah Adit.
“Iya tante, ga apa-apa. Adit senang kok ngelakuinnya.” balasku sambil ikut tersenyum.
“Kamu tau ga nak Adit, dulu tante pernah membayangkan kalau kamu lho yang jadi sama Putri. Hehe. Rupanya tante salah, kamu sama Putri kan uda kaya kakak-adik, ga mungkin bisa jadi suami-istri. Hehe.” lagi-lagi kalimat itu menohok hati Adit, aku tak menjawab, hanya tersenyum membalas pernyataan Tante Rina.
“Nak Adit, tante kembali ke tempat Putri dulu ya. Kayanya acaranya uda mau dimulai nih.”
“Baik, tante.”
Selepas kepergian Tante Rina, aku memilih duduk di salah satu kursi tamu yang sudah disediakan, menunggu acara dimulai. Sambil duduk, pikiranku mulai kemana-mana. Putri, si cinta pertamaku yang juga masih ku cintai sampai sekarang, akan menikah hari ini. Hanya menunggu menit, dia akan berada di pelaminan sana bersama lelaki pilihannya. Aku tak bisa menahan perasaanku ketika ku sadari ada setetes bulir air mata yang mengalir pelan membasahi pipiku. Ah, mengapa aku tiba-tiba jadi lemah begini? Aku menghapus air mataku sambil menertawai diri sendiri. “Ga seharusnya cowok nangis”, gumamku.
Putri … mungkin memang aku yang selama ini terlalu pengecut untuk mengungkapkan segalanya. Aku hanya takut adanya perasaan cinta ini justru akan membuat persahabatan kita merenggang. Aku ingat betul ketika dulu kamu pernah menceritakan tentang kisah salah satu teman sekolahmu yang persahabatannya rusak karena sahabatnya menaruh hati padanya, sedangkan temanmu itu tidak. Aku ingat betul dulu kamu mengatakan agar hal tersebut jangan sampai terjadi di persahabatan kita, dan aku mengiyakannya. Sampai sekarang aku masih memegang janjiku, mempertahankan persahabatan ini dan mengabaikan perasaanku sendiri. Namun hari ini aku mulai berandai-andai, seandainya aku memiliki sedikit saja keberanian untuk mengungkapkan perasaanku, apakah kamu akan menerimanya? Seandainya aku memberitahumu tentang apa yang ku rasa setiap melihatmu, apakah kamu akan memberiku kesempatan? Seandainya aku mengutarakan perasaanku lebih awal, apakah mungkin aku yang akan bersanding bersamamu di pelaminan itu dan bukan dia?
Aku memegang dadaku, ah mengapa sakit sekali rasanya. Aku benar-benar merasa sendiri saat ini, semua orang berbahagia, namun aku tidak. Ku layangkan pandanganku ke depan, aku baru sadar bahwa acara sudah dimulai dan saat ini pembawa acara sedang memanggil kedua mempelai ke depan altar.
Aku memandanginya lagi dari jauh. Dia sungguh menawan hari ini, dalam balutan gaun putih dengan senyum yang tak pernah pudar di bibirnya, wajahnya yang semakin cantik dalam polesan make-up, rambutnya yang ditata rapi, serta matanya yang berbinar-binar. Menatapnya seperti ini membuat ku menyadari bahwa dia sudah sangat jauh dariku, rasanya tak lagi bisa ku capai, tak akan mungkin lagi bisa ku miliki.
Mereka berdiri di depan altar, aku memperhatikan mempelai pria mengucapkan janji pernikahan di hadapan semua orang yang ada di ruangan, dan kemudian Putri melakukan hal yang sama.
“Bersediakah kamu, Putri Ayu Cendrani menjadi istri dari …” serentetan kalimat diucapkan oleh Pendeta yang memimpin acara pernikahan tersebut. Hingga akhirnya aku mendengar dengan sangat jelas dan mantap Putri menjawab,
“Ya, aku bersedia.”
Tepuk tangan dan sorak-sorai memenuhi ruangan, air mata haru tampak menghiasi pipi banyak orang dalam ruangan. Aku pun tak terkecuali, kali ini aku tak bisa membendung air mataku, sekarang ia telah sah menjadi istri dari pria lain.
Aku berdiri dan beranjak meninggalkan ruangan, rasanya tak sanggup bila aku harus berlama-lama di sini. Namun sebelum benar-benar pergi, ku balikkan kembali badanku dan menatapnya dari kejauhan,

“Selamat menempuh hidup baru cinta pertamaku, berbahagialah” ucapku dalam hati.

#Fiksi
Read More
Gambar tema oleh Nic_Taylor. Diberdayakan oleh Blogger.

© 2011 Coretan Ayu :), AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena