Aku menatap gadis
dalam balutan gaun putih itu. Ia sedang mematut diri di depan cermin sambil
tersenyum manis. Hari ini adalah hari bahagianya. Tentu saja ia tak ‘kan
berhenti tersenyum sepanjang hari. Ah, kenyataan ini membuat hatiku perih lagi.
Harusnya aku turut bahagia akan kebahagiaannya, namun aku juga tidak dapat
membohongi perasaanku sendiri. Putri Ayu Cendrani, sahabatku sejak kecil yang
juga menjadi cinta pertamaku akan menikah pada hari ini.
“Adit! Kamu sudah
datang?” pekiknya ketika melihatku, langsung saja ia menghambur dalam
pelukanku.
“Sudah dari tadi, Put.”
jawabku sambil tersenyum. “Hei, hei, kamu sudah mau jadi istri orang masa masih
meluk-meluk cowo lain begini? Apa kata keluarga calon suamimu kalau mereka melihat
ini?” aku mendorong pelan tubuh Putri menjauh dariku. Aku merasa tidak enak
hati memeluknya terlalu lama.
“Ahhh.. kamu kaya lagi
sama orang lain saja, Dit. Dari dulu kamu itu sudah aku anggap kaya abang aku
sendiri lho, masa iya aku salah meluk abangku di hari bahagia ini?”
Aku menghela nafas. Ini
juga salah satu kenyataan yang tidak ku sukai. Putri hanya menganggapku sebagai
‘abangnya’, tidak lebih. Sedangkan aku di sini berharap, setidaknya sekali
saja, Putri dapat melihatku sebagai pria, pria yang mungkin pantas
membahagiakannya.
“Ah tidak seharusnya aku seegois ini, ia sudah menetapkan
pilihannya, dan aku harus menerimanya”, batinku.
“Iya.. iya, aku tahu itu.
Sana, lanjutkan siap-siap. Lihatlah wajahmu masih pucat tanpa make-up, apa kamu mau menemui pangeranmu
dengan wajah pucat itu?” ledekku sambil mengacak-acak rambutnya yang masih terurai.
“Adiiitt… awas ya kamu
ledekin aku terus.” ujar Putri sambil menggelitiku, namun ia menurut juga. Ia
kembali duduk manis di depan cermin sambil membiarkan penata riasnya mulai
membubuhkan bedak di wajahnya.
Akhirnya aku meninggalkan
Putri di ruangan tersebut, aku tidak yakin dapat berlama-lama menyembunyikan
kesedihanku bila terus berada di dekatnya saat ini. Aku memilih berkeliling di
sekitar ruangan tempat Putri akan melangsungkan pernikahannya sembari menunggu
acara dimulai. Ruangan ini didominasi warna pink,
persis dengan warna kesukaan Putri. Aku yakin Putri yang memilih warna
tersebut. Tanpa sadar aku tersenyum, melihat warna kesukaan Putri dimana-mana,
aku jadi teringat kejadian beberapa tahun yang lalu. Tepatnya di hari Valentine
ketika kami masih berusia 15. Kami sama-sama belum punya pacar saat itu. Putri
mengusulkan agar kami merayakannya berdua saja.
“Toh valentine tidak harus dengan pacar ‘kan?” ucapnya padaku
saat itu.
Aku hanya diam.
“Aku kesal! Semua teman-temanku pamer akan jalan dengan pacar
mereka di hari valentine nanti.” sungutnya.
Lagi-lagi aku tak menjawab, aku hanya diam dan membiarkannya
menumpahkan kekesalannya.
“Yaudah, aku juga bilang kalau aku akan menghabiskan
valentine ini dengan orang yang spesial. Lihat saja, mereka pasti cemburu
ketika tahu dengan siapa aku melewati valentine tahun ini. Aditya Bambang
Prakoso, ketua OSIS yang jago basket dan diidolakan oleh banyak perempuan di
sekolah.” kali ini nadanya tidak lagi kesal. Ia mengucapkannya dengan nada
bangga sambil menatapku. Bahkan sekarang aku bisa melihat senyum tergantung di
dua sudut bibirnya. Dan harus ku akui, saat itu ada terselip bangga di hatiku
ketika sedikit banyak aku menjadi alasan penghapus kekesalannya. Aku tidak
yakin betul apa yang ku rasa saat itu, aku bahagia melihatnya bahagia, aku ikut
tersenyum ketika melihatnya tersenyum, dia seperti magnet yang berhasil menarik
perhatianku, dan aku tidak bisa mengalihkan pandanganku darinya. Itulah kali
pertama aku mulai sadar, aku telah jatuh cinta pada sahabat kecilku ini.
Putri memintaku untuk menggunakan baju couple berwarna pink
di hari Valentine tersebut. Awalnya aku menolak, bagaimana mungkin aku memakai
baju berwarna pink dengan corak yang, umm.. sedikit lucu itu, sambil
jalan-jalan di mall bersamanya? Arrgh tidak ! Tapi, ya… Putri selalu jago
meluluhkan hatiku. Setelah merayuku dengan segala cara, akhirnya aku bersedia
menggunakan baju tersebut sambil menemaninya jalan-jalan di mall menghabiskan
hari Valentine bersama.
Sebenarnya aku hampir tidak sanggup menahan malu ketika
beberapa orang yang berjalan melewati kami selalu melemparkan senyum melihat
penampilanku. “Apa aku seaneh itu?” gumamku. Tapi daripada sibuk dengan pemikiran
mengenai penilaian orang tentangku, aku malah mengalihkannya dengan memfokuskan
perhatianku pada Putri. Ia begitu manis dalam balutan kaos pink tersebut,
sangat pas dengan postur tubuhnya. Sepanjang perjalanan ia selalu tersenyum
sambil berceloteh riang kepadaku. Putri memang terkenal sangat ceria. Mungkin
karena itulah orang-orang sangat betah berlama-lama di dekatnya. Hari itu kami
menghabiskan waktu dengan bahagia. Itu valentine terbaik yang pernah ku lewati
dan valentine terakhirku dengan Putri. Karena di tahun-tahun berikutnya, dia
sudah menemukan pria yang selalu mengajaknya keluar disetiap hari Valentine.
“Hei, nak Adit.”
seseorang menepuk pundakku dan membawaku kembali ke alam sadar dari lamunan
masa lalu tersebut.
“Eh.. iya, eh.. tante,
yaampun aku kira siapa.” jawabku setelah mengenali siapa yang tadi menepuk
pundakku. Ternyata Tante Rina, mama Putri.
“Hehe.. maaf
mengagetkanmu. Tante lihat kamu daritadi disini sendirian dan melamun, ya tante
samperin. Kamu lagi ngelamunin apa sih?” tanya Tante Rina.
“Eh engga kok tan, hehe..
bukan apa-apa.” jawabku sekenanya “Ngomong-ngomong, tante ga nemenin Putri siap-siap?
Dia uda selesai dandan?” aku berusaha mengganti topik pembicaraan.
“Sudah kok, tante baru
saja dari sana. Makanya tante sudah bisa ninggalin Putri sebentar. Tante mau
keliling-keliling buat ngecek apa ada kekurangan atau tidak di sini. Syukurnya
di sini juga sudah beres, sudah rapi, tinggal menunggu acaranya dimulai saja.”
ujar Tante Rina.
“Oh gitu. Iya tan, Adit
juga dari tadi disini merhatiin ruangan ini. Apik tenan, Putri pasti bahagia banget dengan konsep pernikahannya
ini. Sederhana, tapi indah.”
“Iya nak Adit, tante
sengaja minta ke EO-nya untuk mempersiapkan konsep pernikahan yang seperti ini,
tentunya kesepakatan dengan pihak mempelai pria juga. Tante mau ngasi yang
terbaik buat Putri di hari bahagianya. Tante masih ga percaya, putri kecil
tante yang dulu manja banget sekarang uda mau membangun bahtera rumah tangga
sendiri.” mata Tante Rina berkaca-kaca ketika menyelesaikan kalimat
terakhirnya.
Aku pun ikut tersentuh,
mengingat perjuangan Tante Rina membesarkan Putri, wajar saja Tante terharu
bercampur bahagia seperti sekarang. Tante Rina sudah menjadi single parent sejak Putri berusia 10
tahun. Om Candra, Papa Putri, meninggal karena suatu penyakit, dan sejak saat
itu Tante Rina membesarkan Putri sendirian. Ia tidak mau menikah lagi, ia hanya
mencurahkan semua waktu dan tenaganya untuk membesarkan Putri.
“Iya tan, waktu rasanya
berlalu dengan cepat ya. Putri sekarang sudah tumbuh jadi gadis yang dewasa …
dan cantik.” ujarku sambil mengulum senyum.
“Terima kasih ya nak Adit
karena selama ini sudah jagain Putri terus. Selalu ada disaat dia butuh, selalu
mau nemenin dia kemana-mana, selalu luangin waktu untuk dia, bahkan ketika
tante ga bisa melakukannya. Tante benar-benar bersyukur karena Tuhan taruh kamu
dalam kehidupan Putri.” tante Rina melemparkan senyum tulus ke arah Adit.
“Iya tante, ga apa-apa.
Adit senang kok ngelakuinnya.” balasku sambil ikut tersenyum.
“Kamu tau ga nak Adit,
dulu tante pernah membayangkan kalau kamu lho yang jadi sama Putri. Hehe.
Rupanya tante salah, kamu sama Putri kan uda kaya kakak-adik, ga mungkin bisa
jadi suami-istri. Hehe.” lagi-lagi kalimat itu menohok hati Adit, aku tak
menjawab, hanya tersenyum membalas pernyataan Tante Rina.
“Nak Adit, tante kembali
ke tempat Putri dulu ya. Kayanya acaranya uda mau dimulai nih.”
“Baik, tante.”
Selepas kepergian Tante
Rina, aku memilih duduk di salah satu kursi tamu yang sudah disediakan,
menunggu acara dimulai. Sambil duduk, pikiranku mulai kemana-mana. Putri, si
cinta pertamaku yang juga masih ku cintai sampai sekarang, akan menikah hari
ini. Hanya menunggu menit, dia akan berada di pelaminan sana bersama lelaki
pilihannya. Aku tak bisa menahan perasaanku ketika ku sadari ada setetes bulir
air mata yang mengalir pelan membasahi pipiku. Ah, mengapa aku tiba-tiba jadi
lemah begini? Aku menghapus air mataku sambil menertawai diri sendiri. “Ga seharusnya cowok nangis”, gumamku.
Putri … mungkin memang aku yang selama ini terlalu pengecut
untuk mengungkapkan segalanya. Aku hanya takut adanya perasaan cinta ini justru
akan membuat persahabatan kita merenggang. Aku ingat betul ketika dulu kamu
pernah menceritakan tentang kisah salah satu teman sekolahmu yang
persahabatannya rusak karena sahabatnya menaruh hati padanya, sedangkan temanmu
itu tidak. Aku ingat betul dulu kamu mengatakan agar hal tersebut jangan sampai
terjadi di persahabatan kita, dan aku mengiyakannya. Sampai sekarang aku masih
memegang janjiku, mempertahankan persahabatan ini dan mengabaikan perasaanku
sendiri. Namun hari ini aku mulai berandai-andai, seandainya aku memiliki
sedikit saja keberanian untuk mengungkapkan perasaanku, apakah kamu akan
menerimanya? Seandainya aku memberitahumu tentang apa yang ku rasa setiap
melihatmu, apakah kamu akan memberiku kesempatan? Seandainya aku mengutarakan
perasaanku lebih awal, apakah mungkin aku yang akan bersanding bersamamu di
pelaminan itu dan bukan dia?
Aku memegang dadaku, ah
mengapa sakit sekali rasanya. Aku benar-benar merasa sendiri saat ini, semua
orang berbahagia, namun aku tidak. Ku layangkan pandanganku ke depan, aku baru
sadar bahwa acara sudah dimulai dan saat ini pembawa acara sedang memanggil
kedua mempelai ke depan altar.
Aku memandanginya lagi
dari jauh. Dia sungguh menawan hari ini, dalam balutan gaun putih dengan senyum
yang tak pernah pudar di bibirnya, wajahnya yang semakin cantik dalam polesan make-up,
rambutnya yang ditata rapi, serta matanya yang berbinar-binar. Menatapnya
seperti ini membuat ku menyadari bahwa dia sudah sangat jauh dariku, rasanya
tak lagi bisa ku capai, tak akan mungkin lagi bisa ku miliki.
Mereka berdiri di depan
altar, aku memperhatikan mempelai pria mengucapkan janji pernikahan di hadapan
semua orang yang ada di ruangan, dan kemudian Putri melakukan hal yang sama.
“Bersediakah kamu, Putri
Ayu Cendrani menjadi istri dari …” serentetan kalimat diucapkan oleh Pendeta
yang memimpin acara pernikahan tersebut. Hingga akhirnya aku mendengar dengan
sangat jelas dan mantap Putri menjawab,
“Ya, aku bersedia.”
Tepuk tangan dan
sorak-sorai memenuhi ruangan, air mata haru tampak menghiasi pipi banyak orang
dalam ruangan. Aku pun tak terkecuali, kali ini aku tak bisa membendung air
mataku, sekarang ia telah sah menjadi istri dari pria lain.
Aku berdiri dan beranjak meninggalkan
ruangan, rasanya tak sanggup bila aku harus berlama-lama di sini. Namun sebelum
benar-benar pergi, ku balikkan kembali badanku dan menatapnya dari kejauhan,
“Selamat menempuh hidup baru cinta pertamaku, berbahagialah” ucapku dalam hati.
#Fiksi